Hidup Tanpa Ijazah

5 09 2008

 

Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa ?

Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain !

Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat

mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?

Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam “Ucapan Terimakasih”. Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan

penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai

latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !

Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah “Hidup Tanpa Ijazah : Yang Terekam dalam Kenangan”, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang.

Mengapa Ajip memberi judul buku ini “Hidup Tanpa Ijazah” ? Karena Ajip tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya.

 

Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang yang seperti dia.

Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus di sekolah, belajar bisa di mana saja.

Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran soal-soal ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di koran-koran timbul polemic tentang manfaat ujian. Dipertanyakan tentang keabsahan ujian untuk menilai prestasi murid yang sebenarnya. Ajip muda (16 tahun) berkesimpulan : orang

tidak segan melakukan perbuatan hina, membeli soal ujian atau menyogok guru, demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? Untuk dapat ijazah. Untuk apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa kerja ? Untuk dapat hidup. Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada secarik kertas bernama ijazah ! Ajip terkejut sendiri dengan kesimpulannya. Ia saat itu telah empat tahun berkarya (Ajip mulai mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi dan dimuat di koran2 dan majalah2 sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14 tahun) dan telah merasa bisa hidup cukup mandiri dengan honorariumnya. Ajip bertanya, apakah seorang pengarang membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak. 

Ajip memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada selembar ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar ijazah. Menurutnya tak ada sekolah atau universitas yang dapat menuntunnya menjadi seorang pengarang yang baik, apalagi ia punya pengalaman bahwa guru2 bahasa Indonesianya semasa di SMP dan SMA harus lebih banyak membaca daripada dirinya.

“Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuanku dalam bidang sastra dan penulisan dengan banyak membaca. Dan membaca tidak usah di sekolah. Tidak usah juga bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal huruf-huruf. Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan. Dalam membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih berbobot. Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan menghargaiku sebagai pengarang. Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat. Berapa banyak orang yang mempunyai ijazah tinggi dan menduduki jabatan penting dalam masyarakat tetapi tidak pernah memperlihatkan prestasi pribadi ? Mereka akan lenyap dari ingatan masyarakat kalau mereka sudah pensiun atau setelah meninggal. Aku ingin tetap dikenang orang walaupun aku sudah meninggalkan dunia yang fana ini. Dan hal itu hanya dapat dicapai dengan berkerja keras, dengan mencipta karya yang bagus. Orang akan tetap mengingat namaku kalau karya-karya yang kutulis bermutu” begitu tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman 167-168.

Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis surat kepada gurunya di atas kartu pos, “saya tidak jadi ikut ujian nasional karena saya akan membuktikan bahwa saya dapat hidup tanpa ijazah” Luar biasa keputusan anak remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu orang tuanya di Jatiwangi.

Dan puluhan tahun berikutnya adalah puluhan tahun pembuktian bahwa Ajip bisa hidup tanpa ijazah. Sebuah bakat yang ditekuni secara luar biasa akan berhasil luar biasa juga. Setahun sebelum ia keluar dari SMA, buku pertamanya telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun, berjudul “Tahun-Tahun Kematian” (kumpulan cerpen). Itu adalah buku pertama yang mengawali sebanyak lebih dari 110 judul buku berikutnya selama puluhan tahun kemudian. Ajip menulis buku-buku baik kumpulan cerpen, kumpulan puisi, roman, drama, penulisan kembali cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, kumpulan humor, esai dan kritik, polemik, memoar, bunga rampai, buku terjemahan, biografi (ada 10 halaman daftar lengkap karya Ajip di buku otobiografi ini). Ajip menulis baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Banyak karyanya diterjemahkan oleh penerbit internasional ke dalam bahasa-bahasa asing Belanda, Cina, Hindi, Inggris, Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis, Rusia, Thai, dan lain-lain.

Sepak terjang Ajip tak hanya dalam dunia penulisan sastra dan sekitarnya. Ia adalah redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955) saat Ajip masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi pemimpin redaksi Majalah Sunda (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan Cupumanik (sejak 2005).

Ajip juga adalah redaktur, pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan. Ia adalah seorang redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962 mendirikan Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin Penerbit Tjupumanik di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka Jaya dan menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit Girimukti Pusaka, Tahun 2000 ia mendirikan dan memimpin Penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus berjalan sampai Sekarang (Pustaka Jaya), ada juga yang telah lama berhenti.

Ajip juga sangat giat dalam berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur 16 tahun) menjadi anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun 1956 menjadi anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 1972-1981 menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada tahun 1968 atas prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan Penerbit Indonesia(IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage, sebuah yayasan yang mengapresiasi karya-karya sastra daerah dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.

Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan kehormatan. Tahun 1960-1962 dia adalah anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan bidang Sastra dan Sejarah. Tahun 1978-1980 sebagai staf ahli menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim Nasional, tahun 1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional. Tahun 2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta.

Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia diangkat sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran di Bandung. Ajip pun sering diundang memberikan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai Visiting Professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka, Jepang. Ajip mengajar di Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai Gurubesar Luar Biasa pada tahun 1983-1994 di Tenri Daigaku di Tenri, Nara, Jepang. Tahun 1983-1996 menjadi Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto. Pensiun sebagai guru besar, Ajip pulang ke Indonesia pada tahun 2003. Sekalipun Ajip berada di Jepang selama 22 tahun, dia tetap menulis buku2nya dalam bahasa Sunda dan Indonesia, tetap berhubungan dengan para penggiat sastra di Tanah Air, dan tetap memantau serta mengelola organisasi2 yang pernah didirikannya dari jauh.

Sebagai penggiat sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di berbagai simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya mengenai kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan bahasa, baik di tingkat daerah, nasional, regional, maupun internasional. Sebagai orang yang mumpuni dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta sebagai anggota dewan juri dalam menilai berbagai perlombaan bidang sastra dan kesenian.

Ajip dan organisasinya pun beberapa kali mendapatkan dana nasional maupun internacional untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun 1969-1972 Ajip mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan folklor Sunda. Tahun 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation untuk meneliti kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan Ensiklopedi Sunda (telah terbit pada tahun 2000). Tahun 1960-1994 meneliti puisi Sunda, dan hasilnya dituliskan dalam tiga jilid buku dengan tabal total 1700 halaman (telah terbit dua jilid).

Karena dedikasinya yang total lepada kesustraan dan kebudayaan, Ajip beberapa kali diganjar penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra Nasional untuk kumpulan puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk buku kumpulan cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia, 1993 : Hadiah Seni, 1994 : penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda terbaik, 1999 : penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold Rays with Neck Ribbon dari Jepang, 2003 : penghargaan Mastera dari Brunei, 2004 : Teeuw Award dari Belanda.

Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip. Ia berkarya sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun, menekuni sastra dan budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56 tahun.

Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita bisa mengetahui bahwa pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan kalangan sesama sastrawan dan budayawan, juga dengan banyak tokoh dari berbagai bidang baik di Indonesia maupun peneliti2 asing yang datang ke Indonesia untuk meneliti sastra dan budaya Indonesia. Bagaimana pergaulan dan pandangan Ajip dengan tokoh2 seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Asrul Sani, Affandi, Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan masih banyak lagi bisa dibaca di sini. Pengamatannya tentang kejadian2 penting yang dialami Indonesia entah itu pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2 dari tahun2 1940-an sampai sekarang bisa dibaca juga di sini. Ajip juga menceritakan pikiran dan sikapnya tentang itu semua dan hal2 yang dialaminya, termasuk saat gempa Kobe di Jepang, sebagaimana layaknya sebuah otobiografi. Buku otobiografi setebal 1364 halaman ini adalah salah satu dari buku2 otobiografi paling tebal yang pernah ditulis.

Kata seorang pengamat, Ajip adalah seorang langka dengan kelebihan yang tidak dimiliki H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio Sastrowardojo (Dr. Faruk dalam Kompas 31 Mei 2003).

“Mungkin ada orang yang membaca buku ini menuduh bahwa buku ini merupakan usaha Ajip untuk memamerkan kehebatannya sebagai orang yang “kurang sekolah”, tetapi berhasil mencapai prestasi internasional. Tentu saja tuduhan itu sukar dibantah. Meskipun tentunya sah-sah saja bagi orang berprestasi untuk memamerkan prestasinya, apalagi prestasi ini dicapai melalui perjuangan dan usaha sendiri dengan kerja keras. Ajip sudah merupakan seorang yang dihargai di Indonesia, dia tak akan perlu memamerkan diri lagi, buku ini ditulisnya lebih kepada keinginan untuk mengawetkan kenangan2 dan pikiran2-nya, berbagi pengalaman dengan orang lain”, begitu tulis Arief Budiman dari Melbourne, teman karib Ajip, dalam kata pengantar otobiografi ini.

Satu hal yang sangat penting yang merupakan pesan Ajip melalui buku ini adalah : meskipun pendidikan sangat penting, orang bisa juga berhasil meskipun tidak atau kurang sekolahnya. Ajip telah membuktikan kepada kita semua bahwa ia bisa hidup dan berhasil sampai punya reputasi internasional bahkan sampai menjadi gurubesar di tiga perguruan tinggi di luar negeri meskipun tak punya gelar akademik apa pun, bahkan ijazah SMA pun tak ia miliki, Ajip benar2 : hidup tanpa ijazah.

“Ajip akan diterjang kegelisahan yang luar biasa saat ia mandeg membaca dan gagap menulis” (Maman S. Mahayana dalam Panji Mas, Februari 2003). 


Aksi

Information

30 responses

6 09 2008
nun1k04a

artikel anda:

http://pendidikan.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/hidup_tanpa_ijazah

promosikan artikel anda di infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler,telah tersedia widget shareGue dan nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

8 09 2008
gedungbundar

assalam mu’alaikum wr.wb.
salut untuk pesantren almuhajir, membuktikan bahwa pesantren juga ga ketinggalan IT.
semoga pendidikan pesantren membuat negeri ini bebas korupsi

9 09 2008
Muda Bentara

Salam kenal ……
Salute , bukankah ijazah itu hanya sebagai formalitas sahaja, dan ilmu adalah kenyataann sebenarnya ….
salam dari aceh …

9 09 2008
desabungursari

YOOOOO BAGUS TUH….. SELAMAT PESANTREN BISA IT…..

WSLM
KADES BUNGURSARI

9 09 2008
ekohm

wah salut bangets sama pak ajib..
salam puisi 🙂

ekohm

9 09 2008
YULY

pendidikan dan ilmu itu tidak hanya di sekolah,tapi di mana saja kita bisa dapat ilmu.Kenyataaanya saat ini,termasuk orang -orang di sekitar saya sekolah hanya untuk ijazah,apapun dilakukan termasuk menjadi penjilat
visit my blog alkohol7.wordpress.com

10 09 2008
admin_math

maaf jika isi pesan berikut mengganggu aktivitas kamu.. aku cuma mau kasih tau aja, ada sebuah situs social bookmarking yang berisi kumpulan berita-berita menarik yang paling update diseluruh indonesia,dan memang situs ini berbasis bahasa indonesia… klo nggak keberatan tolong cek situs ini yah.. semoga bermanfaat..

>>> http://www.lintasberita.com

blog ini menarik lho…coba di share aja semua tulisan km di situs itu ,mudah2an bisa membantu naikkan traffic blog ini ,keep up the good post ok.. btw.. ever thought bout adding lintasberita’s widget?? cek disini aja yah

>>> http://www.lintasberita.com/tools.php

thanks…. sory klo keliatannya spamming.. but seriously… im just helping you out here…

10 09 2008
y2ags

Pelajaran yang bisa diambil : apapun kita, kita harus punya cita-cita dan mimpi dan bekerja keras untuk meraih cita-cita itu. Ajip Rosidi telah membuktikan itu, beliau bekerja keras untuk bisa mewujudkan cita-cita dan mimpinya itu dan atas izin-Nya mimpinya itu jadi kenyataan. Jadi bercita-citalah dan konsisten dengan cita-cita itu.

Salam

10 09 2008
h a b i b

assalamu’alaikum.
inspiratif. cerita hidup tanpa ijazah. memang tak perlu ijazah. tapi dengan kemampuan berjuang, utamanya pemahaman akan hakikat hidup yang sebenarnya, untuk mengibadahi Allah Sang Maha Kuasa.
aku pun membina hidup tanpa ijazah (dari sekolah). memang tak sebanding dengan tokoh kita tersebut. tapi aku juga sudah membuktikan bahwa tanpa ijazah aku bisa hidup. anak-anakku juga tak aku sekolahkan ke ‘penerbit ijazah’.
kalau mau tinggal beli aja, gampang…tapi buat apa?!
negeri kita dilanda krisis, tapi saudara-saudara kita yang hidup di kampung dan apa adanya hampir tak terpengaruh. dan yang paling terpengaruh adalah manusia kota yang notabene berijazah.
maaf bila tak berkenan, sekedar berbagi pengalaman.
salam kenal dan sudilah mampir.

10 09 2008
Wahyudi's weblog

No comment nich! Salam kenal aja.

10 09 2008
novita sari

asalamualaikum…

vy terkesan dengan cerita ini mudah2_an semua orang bisa berpikir dengan bijak seperti ajib rosidi yang memandang ilmu itu bisa belajar dimana saja..

salam dari riau

10 09 2008
heri

inspiring artikel bro 😀

sambil promo 🙂

****
http://cantigi.wordpress.com/2008/08/19/ibsn-ibsn/

10 09 2008
Dg Narang

Kisah yg MEnarik, Mohon ijin untuk mengcopy artikelnya….

10 09 2008
iwanmalik

Hidup tanpa ijasah tak berarti kiamat, banyak orang tak punya ijasah tapi sukses jadi pengusaha ( edi tamzil, pemilik bakso kota cak man dll ), jadi DPR, gubernur dll. Yang terpenting kecerdasan emosional yang berperan untuk orang jadi sukses. Clik http://iwanmalik.wordpress.com

10 09 2008
kusandriadi27

jadi gini bank…

saya juga pernah diceritain sama “guru besar” saya….dia bilang “orang seperti itu,,itu ada 1:30jt orang….jadi tiap 30jt orang ada 1 orang”

semua orang bisa kaya dia,tapi gak semua orang bisa berfikir dan bernasib seperti dia…betul tidak? he9x

10 09 2008
piska

inspiring banget…hati juga pasti seperti baja..kuat dan tangguh juga bekerja keras…

10 09 2008
novita sari

saya sangat terkesan dengan cerita diatas mudah2_an semua anak negri bisa seperti ini

10 09 2008
erwin

dua kata…hebat sekali

10 09 2008
sufimuda

Salam kenal,
kisah ini membuktikan bahwa pendidikan formal bukan segalanya….

10 09 2008
Johan

Ulasan yg bagus dan inspiratif. Mungkin hal2 yg mirip seperti itu sering dijumpai di sekitar kita. Tapi skalanya tidak sehebat pak Ajip. Ada banyak orang justru menjadi lebih berhasil berkarya di bidang yg sama sekali menyimpang dari bidang pendidikan formalnya semula. Pendidikan memang perlu, tapi kemampuan dan kemauan dalam belajar ternyata lebih penting lagi.

11 09 2008
indra1082

Ijazah hanya kertas, cuma formalitas, yang penting life skils, kompetensi, dan Keahlian…
Semangat…………

11 09 2008
cina murtad

yang penting mau belajar aja intinya kan? ijazah mah cuma kertas.

11 09 2008
pakarfisika

salam,

ijazah dekat juga dgn ijabsah…

wassalaam,

11 09 2008
edwidianto

salam kenal juga…

11 09 2008
willy

kenapa yah nggak disuruh pulang aja ke indo!!!! pemerintah nggak menghargai anak bangsa sendiri!!!! cape deh gw ama pemerintah indo!!!

thanks info nya sob!!!

oh iyah,,tolong gw baru coba2 buat puisi nih tolong di kritik yah di:
willy-terluka.blog.friendster.com
kategory: puisi willy

11 09 2008
adefitri90

Tuh pasti Ajip Rosidi kan? wah kalo dia sih siapa yg gak kenal.. saya aja simpan bukunya : Laut Biru Langit Biru (Bunga Rampai Sastra Indonesia) Ajip memang sang otodidak tulen.. drop out yang jadi penulis beken
Salam aja 🙂

11 09 2008
nyurian

kereeen

15 09 2008
erwin

assalamualaikum…
menarik skali nih post na..
minta izin untuk d tulis kembali d blog saya..
http://ewinkajayah.blogspot.com/
terimakasih…

14 05 2009
sofwan.kalipaksi

sangat inspiratif. Oh ya, baca juga di sini:

Hidup Tanpa Ijazah

23 05 2010
cahaya senja

kereeen deh ….

Tinggalkan komentar